Impian ke Papua, Ekowisata sambil Memetik Matoa dari Pohonnya

Papua, awalnya saya kenal hanya dari keberadaan suku Asmat yang terkenal dengan tarian, busana tradisional, serta hasil pahatan patungnya yang khas. Selain itu, pulau ini juga dikenal punya satwa langka yang cuma ada di sana: burung cenderawasih. Dengan kondisi alamnya yang tergolong masih hijau, alami dan banyak hutan, provinsi yang dahulu bernama Irian Jaya itu sejak dulu cocok untuk ekowisata.

Saya ingat sewaktu saya masih kecil, Bapak (almarhum) pernah tugas ke Irian dan pulang membawa oleh-oleh pajangan kerajinan Asmat serta sagu yang sudah diolah menjadi kue tradisional, namanya bagea. Kisah pengalaman Bapak di sana saat itu, sama dengan yang melekat di benak saya: suku Asmat yang unik, burung cenderawasih, dan cerita alam hutan. Saya pun sering berandai-andai pergi ke sana, hanya untuk melihat keasrian hutannya dengan segala isinya. Namun asa itu belum tercapai berhubung biaya untuk berekowisata ke lokasi itu belum dapat dibilang ramah kantong.

Kemudian, sejak media sosial mendominasi, Papua mulai viral dengan destinasi wisata Raja Ampat. Gugusan kepulauan di Provinsi Papua Barat itu menjadi tujuan favorit untuk para penyelam. Ini karena pantainya yang masih asri, serta menyimpan pemandangan menakjubkan saat snorkeling.

raja_ampat_papua
Raja Ampat yang mempesona (Pict: Canva)

Pelancong non penyelam juga akan terkagum-kagum dengan pemandangan pantai dan gugusan pulau hijaunya. Ternyata pulau di paling ujung Timur Nusantara pun punya pesonanya sendiri.

Melestarikan Hutan Papua demi Indonesia Hijau

Akibat tutupan hutan di wilayah Sumatera dan Kalimantan semakin berkurang, Papua sepantasnya jadi harapan terakhir bagi hutan Indonesia yang utuh. Tercatat di tahun 2012, sebanyak 38% hutan primer Indonesia terletak di Papua. Pulau kepala burung ini memiliki salah satu hutan dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, yaitu dengan 20.000 spesies tanaman, 602 jenis burung, 125 mamalia dan 223 reptil. MasyaAllah. Papua keren! Tak heran, hutan ini menjadi sumber mata pencaharian bagi banyak masyarakat setempat.

hutan_papua
Hutan tropis di Papua (Pict: bisnis.com)
cendrawasih_papua
Burung Surga Cendrawasih
(Pict: ensiklopediaindonesia.com)

Sayangnya, hijaunya hutan di sana juga mengalami penurunan, dan puncak kehilangan tutupan pohon di sana terjadi pada tahun 2015. Sejak saat itu para pemimpin daerah mulai mengambil tindakan, diantaranya menjadikan Papua Barat sebagai provinsi konservasi pertama di dunia.

Sementara itu, Provinsi Papua, juga telah membuat rancangan peta jalan bertajuk Visi 2100 Papua dengan target mempertahankan 90% tutupan hutan di seluruh provinsi. Ini sejalan dengan upaya pemerintah daerah untuk mencapai tujuan pembangunan rendah karbon.

Selain upaya pemerintah setempat, skema hutan adat juga menjadi opsi konservasi hutan Papua, karena sejak dahulu masyarakat di sana telah terbiasa mengambil semua kebutuhan hidup dari hutan. Kini, mereka tetap berperan penting dalam upaya melindungi hutan dari perambahan.

Menikmati Matoa dari Pohonnya di Papua

Salah satu penghuni hutan Papua adalah tanaman yang menghasilkan buah favorit saya, yaitu matoa (Pometia pinnata). Menurut Wikipedia, ini merupakan tanaman asli provinsi paling Timur Indonesia itu, yang banyak tumbuh liar di hutan-hutan di sana. Wah, tanaman liar tapi buahnya seenak itu. Jadi membayangkan seandainya saya bisa petik dan menikmati matoa langsung dari pohonnya di sana…

Matoa ini satu famili dengan rambutan (Sapindaceae), lho, dan merupakan sejenis tumbuhan pohon besar, dengan rata-rata tinggi 16 meter. Tanaman khas ini berbuah musiman pada bulan September hingga November.

Di Papua terdapat 2 jenis matoa, yaitu matoa kelapa dan matoa papeda. Matoa kelapa tekstur daging buahnya agak kenyal seperti rambutan Aceh, sedangkan Matoa papeda tekstur daging buahnya agak lembek dan lengket dengan diamater buah lebih kecil dari matoa kelapa.

pohon_matoa_papua
Pohon Matoa (Pict: BPTP Papua)
matoa_papua
Buah Matoa (Pict: Canva)

Saya suka banget buah bulat lonjong ini karena keunikannya. Aromanya seperti durian tapi rasa manis segarnya kombinasi rambutan dan kelengkeng. Menurut berbagai penelitian, buah matoa kaya akan vitamin C dan E, sehingga bermanfaat untuk kekebalan tubuh, kesuburan, serta kesehatan kulit. Tapi hati-hati juga, buah ini banyak mengandung glukosa jenuh, sehingga jika terlalu banyak dikonsumsi bisa bikin sedikit pusing (teler). So, jangan berlebihan jika makan matoa ya!

Ah, Papua! Semoga hutanmu selalu terjaga kelestariannya agar matoa pun tak menjadi tanaman langka pada generasi mendatang.

-Cemil-

**Dari berbagai sumber

6 komentar pada “Impian ke Papua, Ekowisata sambil Memetik Matoa dari Pohonnya

  • Juli 16, 2022 pada 10:49 am
    Permalink

    MasyaAllah. ternyata buah Matoa (Pometia pinnata) sanga Unik ya. kelihatannya lezat banget kak. manis gitu ya. Kalau mentah warnanya sama atau berubah kak?

    Balas
  • Juli 16, 2022 pada 3:06 pm
    Permalink

    Aku suka banget makan buah matoa. Dulu pernah dikasih bibitnya. Aku ke kasih ke orangtuan buat ditanam, tapi gak tahu, sekarang apa kabar tanamannya.

    Balas
  • Juli 18, 2022 pada 8:19 am
    Permalink

    Matoa itu enak banget, kalo di Surabaya kadang bisa dapat si supermarket kalau lagi musim. Enak banget buah asli Papua ini.

    Balas
  • Juli 18, 2022 pada 3:04 pm
    Permalink

    Kangen rumah jadinya kalau ingat matoa.
    memang rasanya itu macam, 1 buah kadang ada rasanya kaya rambutan, kaya durian dan lain-lain..
    tapi kalau dah makan banyak-banyak jadi pusing..
    wkwkwk

    Balas
  • Juli 19, 2022 pada 8:46 am
    Permalink

    saya pernah dikasih buah ini dari temen dari Solo. apa di Papua ada bedanya sama yang di Solo. pastinya yg pernah saya makan itu saya suka. bahkan menurut saya lebih enak dari dukuh.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *